Melihat
kembali pada Undang-undang Republik Indonesia No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan
Tinggi Bab 1 Ketentuan Umum point ke-2, bahwa pelaksanaan pendidikan tinggi
yang dilakukan oleh perguruan tinggi berdasarkan kebudayaan bangsa Indonesia.
Berangkat dari itu timbulah pertanyaan, seperti apakah kebudayaan bangsa
Indonesia yang dimaksut?. Secara geografis Indonesia memiliki wilayah yang
sangat luas, dengan begitu banyak jumlah pulaunya. Sangat sulit menganalisis
kebudayaan Indonesia itu seperti apa.
Maka
dari itulah, kebudayaan bangsa Indonesia ini akan dapat terlihat dari
berjalannya sebuah lembaga pendidikan dalam menjalankan fungsi dan tugasnya.
Mulai dari peraturan atau kebijakan yang dipakai dalam kampus tersebut dan juga
perilaku mahasiswa, dosen, serta birokrasi kampus dalam menjalankan kerjannya.
Dan semua itu akan menunjukkan bagaimana corak kebudayaan bangsa Indonesia.
Keberadaan
perguruan tinggi dalam melaksanaakan pendidikan tinggi memiliki tujuan yang
sangat mulia sekali. Berdasarkan pasal 5, pendidikan tinggi pada point –a
memiliki tujuan mengembangkan potensi Mahasiswa agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, terampil, kompeten, dan berbudaya untuk
kepentingan bangsa.
Mengemban
tugas yang sangat besar dengan tujuan yang begitu mulia, perguruan tinggi
memiliki kewajiban dalam membentuk formulasi pendidikan demi mendapatkan
capaian yang maksimal. Pembentukan kurikulum pendidikan hingga penetapan
kebijakan-kebijakan dilakukan untuk hal tersebut. Dan tak lupa sesuai
undang-undang, bahwa kebudayaan bangsa Indonesia perlu menjadi pertimbangan.
Kaitannya
dengan kegiatan akademik, pembentukan kurikulum menjadi hal utama yang perlu
dilakukan. Dari kurikulum lah kegiatan akademik akan diatur, mulai dari
penetapan matakuliah, durasi mengajar, metode mengajar dan bahkan sampai hal
yang paling sensitif menurut mahasiswa yaitu cara pengambilan nilai.
Pembentukan
kurikulum dengan menggabungkan beberapa matakuliah menjadi satu namun dilakukan
penyesuaian dengan menambah durasi belajar yang semakin lama akan mebuat jadwal
perkuliahan semakin padat. Metode pembelajaran seperti itu akan memaksa
mahasiswa untuk mengikuti proses pembelajaran dengan mengenyampingkan kondisi
bosan, jenuh, dan capek. Suasana kondusif pun dinilai dari jumlah kehadiran
mahasiswa dan juga kondisi perkuliahan yang tidak gaduh. Sedangkan terserapnya
materi yang disampaikan dosen menjadi pertimbangan. Dan mungkin tidak juga.
Penambahan
durasi pembelajaran pastinya akan bermuara pada semakin pendeknya masa studi
seorang mahasiswa. Hal tersebut bertujuan untuk menggunakan waktu secara
efisien dalam memproduksi seorang sarjana-sarjana muda. Dengan harapan
melahirkan sarjana yang kompetitif dalam dunia kerja.
Namun
produk yang dihasilkan akan berupa sarjana-sarjana pekerja, bukan sarjana yang
dapat menciptakan lapangan pekerjaan sendiri. Hal itu karena dalam proses
pendidikannya, mahasiswa hanya disibukkan dengan durasi perkuliahan yang
panjang, tugas perkuliahan yang banyak, dan dituntut untuk patuh pada sistem
pendidikan. Dalam kondisi seperti itu kampus akan lebih mudah melakukan
pengontrolan.
Metode
seperti itu menciptakan pendidikan dengan pola “kerja-sekolah”. Dimana
mahasiswa sebenarnya telah dilibatkan dalam proses produksi menjadi pekerja
tidak diupah, untuk menghasilkan komoditi berupa dirinya sendiri. Sedangkan
untuk menjadi seorang wiraswatawan dibutuhkan relasi yang banyak dan pengalaman
sosial yang luas. Hal seperti itu yang tidak didapatkan oleh mahasiswa ketika
hanya duduk manis di kelas tanpa ada kegiatan di lingkungan sosial.
Sedangkan
di wilayah non-akademik kampus juga membuat kebijakan-kebijakan tertentu untuk
mewujutkan tujuan pendidikan tinggi yang mulia tersebut. Seperti pembatasan
otonomi dan hak-hak mahasiswa dalam berorganisasi. Dalam hal ini dicontohkan
persyaratan ikut organisasi harus mahasiswa yang minimal sudah semester tiga.
Jika seperti itu bila dihitung-hitung mahasiswa dapat mengikuti organisasi
mulai semester tiga dan berhenti semester enam, karena semester tujuh sudah
dituntut untuk fokus dalam mengikuti akademiknya.
Tidak
hanya sampai disitu, kebijakan tentang memperketat pemanfaatan ruang dan waktu
non-akademik juga dibuat. Yang nama keren kebijakannya disebut Jam Malam.
Jadi selain masa keikut sertaan dalam berorganisasi dipendekkan, penggunaan
waktu dan tempat pun juga dibatasi. Secara tidak disadari hak-hak mahasiswa
disamarkan oleh kampus.
Padahal
sesuai dengan pasal 8 point ke-3 bahwa, Pelaksanaan kebebasan akademik,
kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan di Perguruan Tinggi merupakan
tanggung jawab pribadi Sivitas Akademika, yang wajib dilindungi dan
difasilitasi oleh pimpinan Perguruan Tinggi.
Sedangkan
apabila ada mahasiswa yang melanggar atau tidak mengindahkan kebijakan yang
dibuat oleh kampus, maka akan dilakukan pendisiplinan. Pendisiplinannya pun
menggunakan cara yang keren-keren, seperti peringatan secara lisan, tulisan,
dan tindakan. Itu memang alur pemberian hukuman yang pada umumnya digunakan.
Itu
hanya sekedar alur dan prosedur, namun kenyataan hal tersebut dilakukan dengan
ancaman nilai, mempersulit kelulusan, skorsing, dan DO. Lebih kerennya lagi
pendisiplinan melalui jalur hukum, yaitu dipidanakannya seorang mahasiswa.
Sedangkan
untuk pelanggaran yang dilakukan organisasi bentuk pendisiplinannya berbeda.
Mulai dari ancaman hingga tindakan, mulai dari pembekuan hingga pembubaran
organisasi. Hal itu dilakukan dengan alasan edukasi dan pendisiplinan terhadap
mahasiswa.
Sedangakn
menurut saya, itu merupakan aksi politis yang dilakukan oleh birokrasi kampus
untuk menyatukan psikologi kapitalis ke dalam nilai, kultur, moral, dan
lingkungan kampus. Pendisiplinan juga dilakukan untuk menjamin situasi stabil
dalam atmosfer kampus dan situasi sosial, dengan menggunakan karakter bawaan
dan psikis mahasiswa sebagai pribadi-pribadi yang patuh, penuh dengan ketakutan
atas ketidakpastian masa depannya.
Seperti
itulah kebudayaan bangsa Indonesia yang digambarkan, corak pendisiplinan yang
dilakukan oleh lembaga pendidikan melalui pelaku perguruan tinggi.[]
Pernah diterbitkan di: http://persmanifest.com/?p=743
