![]() |
| Puncak Bukit di Pantai Poncomoyo (Foto: Joko) |
Sepada kami parkir, lalu melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki. Memang tidak memungkinkan jika
melanjutkan perjalanan dengan menaiki sepada motor apalagi sepeda jenis metik.
Jalannya penuh tanjakan dengan tanah basah berlumpur akibat hujan tadi malam.
Tapi jejak bekas roda motor juga ada dijalan tanjakan itu. Biasanya orang-orang
memang memodif sepedanya semacam sepeda trail
yang memiliki motif roda menonjol besar. Sehingga tetap bisa jalan meskipun
tanahnya menanjak, berlumpur, dan licin.
“Mas, itu liat,” Ade sambil
menunjuk jarinya ke arah pohon besar
disebelah kiri saya.
“Apa itu De?”
“Kalong Mas.”
Di hutan ini memang masih banyak
hewan, salah satunya burung. Dari awal memasuki hutan, suara-suara burung terus
terdengar berkicau saling bersautan. Dan hutan ini memang masih menjadi tempat
tinggal para hewan. Masih rimbun, lebat, dan alami. Selain burung juga ada
hewan monyet, yang sering berloncatan diantara ranting-ranting pohon. Buah-buah
hutan, juga masih sering saya temui diperjalanan. Sehingga monyet-monyet tidak
akan kesusahan apabila ingin mencari makan.
Setelah jalan beberapa tanjakan
dan tikungan kami lalui, akhirnya saya dan Ade sampai di Pantai Poncomoyo.
Dikelilingi tanaman pandan di tepiannya, beberapa batu karang berdiri tegak,
dan satu bukit yang cukup tinggi dengan ditumbuhi rumput ilalang, menjadi
karakteristik khas pantai ini.
“Mas, liat ada Elang.”
Terlihat sepasang elang sedang
terbang di atas kami. Ade juga bercerita bahwa di hutan sekitar Pantai
Poncomoyo ini juga pernah menjadi tempat pelepasan burung Cendrawasih dan Merak.
Sebagai usaha pelestarian satwa.
![]() |
| Kenampakan Bebatuan di Pinggiran Pantai (Foto: Joko) |
Kondisi pantai yang masih alami,
tidak ada tanda-tanda pembangunan, dan sangat sepi. Hanya ada sampah-sampah
pohon dan ranting kayu yang kering ditepian pantai. Tidak jarang juga ada
sampah plastik dan bungkus makanan ringan yang terseret ombak hingga pantai ini.
“Ayo De, ke bukit.”
“Ayo wes.”
Kamipun menyusuri pantai berpasir
putih untuk menuju bukit yang biasanya menjadi spot orang-orang untuk memancing. Ada dua batu karang berdiri tegak
di depan kami, keberadaan batu tersebut menjadi pemecah ombak ditepian pantai
ini. Sehingga tempat para pemancing menjadi lebih aman. Misalnya saja, jika
batu tersebut tidak ada, dapat dipastikan ombak besar akan sampai ke tepian.
Untuk sampai dipuncak bukit ternyata
tidak ada jalan setapak, kami harus jalan menyisiri bebatuan besar yang tertata
secara alami di sekitar pinggirang bukit. Batu yang kami lalui cukup tinggi,
apabila jatuh pastinya ombak besar dan batu bermotif benjolan tajam sudah
menunggu kami dibawah.
Jalan pelan merambat, dengan
berpegangan di akar-akar pohon serta bebatuan dinding bukit. Seperti itulah
gambaran perjalanan kami. Setelah sampai dibukit, kami harus jalan naik
melewati jalan samar yang mulai tertutup rumput ilalang setinggi bahu. Membuat
jalan kami semakin hati-hati karena apabila ada lubang di bukit, jelas tidak
terlihat tertutup oleh rumput.
![]() |
| Tanaman Biduri Di Puncak Bukit (Foto: Joko) |
Tapi capeknya perjalanan kami terbayar
ketika sampai di puncak bukit. Angin laut yang cukup kencang dengan pemandangan
luas laut yang membiru. Menjadi kenikmatan tersendiri bagi kami. Tidak lupa
kami mengabadikan moment tersebut dengan foto bersama dan juga membuat video
pendek.
Di atas bukit pun juga ada
beberapa tanaman yang cukup tidak asing bagi saya. Ada tanaman Biduri, tanaman
khas tepian pantai yang biasanya hidup di bebatuan. Tanaman ini pernah diteliti
oleh Dekan sekaligus Dosen Pembimbing Akademik di tempat saya kuliah dulu
(Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Jember), dan mengantarkan beliau ke
status Profesor.
Adalagi bunga, orang di daerah
saya menyebutnya Bunga Telek-telekan
yang pada masa kejayaannya bunga ini apabila dijual harganya mencapai puluhan
hingga ratusan ribu. Apabila bunga itu dimodifikasi dengan sejenisnya tapi beda
warna dan mengahasilan Bungan dengan karakter satu pohon bervariasi warna
bunganya, harga jualnya akan naik atau lebih mahal dari harga biasanya.
![]() |
| Bunga Telek-telekan Di Bukit (Foto: Joko) |
Disaat saya sedang mengambil
foto, terlihat dari kejahuan ada sebuah perahu nelayan sedang merapat ke tepian
pantai. Ada dua orang dalam satu perahu, mereka menyandarkan perahunya, lalu
mengeluarkan alat pancingan beserta satu buah box yang nantinya akan dijadikan sebagai wadah ikan hasil
tangkapan. Di sebelah kiri saya juga terlihat dua orang pemancing yang baru
saja datang. Mereka memilih tempat karang tepian bukit dengan kondisi ombak
yang besar. Cukup beresiko memang, namun sepertinya mereka menganggap ikan yang
besar akan berada di laut dengan obak yang besar juga.
“De, habis ini kita lanjut
kemana?”
“Langsung ke Rajekwesi aja,
gimana mas?”
“Okelah, kalau aku ngikut aja.”
“Nanti kita lewat situ aja mas,
sambil melihat kebun kelapa dan perkampungan yang rata-rata penduduknya
berprofesi sebagai produsen Gula Merah.”
“Ya sudah, kalai gitu ayo kita
lanjut ke Rajekwesi.”
Setelah dari Pantai Poncomoyo
kami akan melanjutkan perjalanan ke Pantai Rajekwesi yang merupakan tempat
pelelangan ikan juga. Sekaligus kami akan melewati perkebunan kelapa untuk melihat
rumah produksi Gula Merah.



