Saya
selalu menganggap bahwa tingkat intelektual dan juga pengetahuan seseorang akan
selalu bertambah seiring dengan pengalaman, pendidikan, dan seberapa sering dia
baca buku sekaligus berdiskusi.
Di
saat mengikuti kegiatan belajar mengajar di kampus, saya pun juga sering
melakukan diskusi dengan teman kelompok saat membicarakan tentang materi
perkuliahan. Setalah mendapatkan kesepahaman dalam satu kelompok dilanjutkan
dengan presentasi di depan kelas dengan jumlah peserta lebih banyak, semua
teman satu kelas dan tak terkecuali dosen juga. Kami mendiskusikan topik
perkuliahan bersama, teman yang posisinya sama-sama peserta didik dan dosen
selaku pendidik.
Metode
seperti itu saya rasa sangatlah keren, karena adanya interaksi pemikiran antara
mahasiswa dengan mahasiswa dan juga pastinya dengan dosen. Daripada metode
pengajarannya menggunakan cara sejenis ceramah, dan terkesan pendidiklah yang
selalu benar. Dan mahasiswa hanya diam sampai akhir jam perkuliahan, setelah
itu pulang. Sehingga tak ada ruang dialektika, kelas mati dan tak ada
ketegangan-ketegangan antar individu dalam menyampaikan pengetahuan terkait
materi yang didiskusikan.
Namun
apa diskusi di kampus hanya digunakan ketika kita membicarakan teori terkait
materi perkuliahan saja, sedangkan hal-hal yang berkaitan dengan sistem atau
kebijakan-kebijakan yang ada di kampus dapat dibilang haram untuk didiskusikan.
Bahkan ketika salah seorang mahasiswa sedang memberikan kritik atau saran
kepada kampusnya, dikira menjelek-jelekan kampus dan dianggap memalukan.
Padahal ketika kita melihat kritik atau saran dari sudut pandang yang positif,
dapat dinilai bahwa di situ terletak sebuah ketidak tepatan atau ada hati yang
sedang gundah ketika kebijakan itu diterapkan. Dari situ pula selaku pihak yang
mebuat kebijakan atau sistem mendapatkan data untuk bahan evaluasi kerjanya.
Namun jika ada seseorang yang memiliki sikap anti kritik, mungkin memiliki
penilaian lain.
Jika
kampus membuat sebuah kebijakan alangkah lebih arifnya jika mahasiswa juga
diikut sertakan pada saat perumusan pembuatan aturan, hal tersebut mengingat
mahasiswa sebagai pelaku kebijakan tersebut. Oleh karena itu suara mahasiswa juga
perlu dijadikan pertimbangan. Hal tersebut dilakukan agar mahasiswa tidak
menganggap birokrat kampus bersikap otoriter dalam menjalankan tugasnya.
Sehingga dapat menghindari perpecahan atara penyusun dan pelaksana kebijakan.
Jika keduanya itu pecah maka kebijakan yang disusunpun akan sia-sia.
Contohnya….
Saya
mencoba mengkritisi beberapa peristiwa yang terjadi di kampus saya (Fakultas
Teknologi Pertanian Universitas Jember), dan semoga kritikan saya ini dapat
disikapi secara bijak oleh beberapa pihak yang mungkin merasa kurang sepakat
dengan apa yang saya sampaikan berikut ini.
Peristiwa
ini agak lama sebenarnya, namun efeknya sampai saat ini. Beberapa bulan yang
lalu (saya lupa lebih tepatnya bulan apa), fakultas saya menerapkan peraturan
jam malam sesuai dengan peraturan yang diberikan oleh universitas. Peraturan
itu berisi kebijakan “jam malam” yang penyusunannya tidak mempertimbangkan
suara mahasiswa dan terkesan sepihak. Alhasil banyak penolakan-penolakan dari
mahasiswa yang ada di beberapa fakultas, dan tak terkecuali fakultas saya.
Dengan alasan menaati peraturan yang dibuat universitas, fakultas saya memaksa
menerapkan peraturan itu. Padahal tidak semua fakultas menanggapi dan
menerapkan peraturan tersebut di fakultasnya. Untungnya fakultas saya memiliki
sistem perkuliahan yang padat dan juga tugas yang tak ada habisnya, sehingga
kebanyakan mahasiswa acuh terhadap penerapan peraturan tersebut. Meskipun di
belakang mereka menggerutu ketika diusir oleh satpam saat mengerjakan tugas di
kampus sudah kelewat jam malam.
Hanya
mahasiswa yang aktif mengikuti Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM)-lah yang melakukan
penolakan terhadap peraturan tersebut. Mengingat sistem perkuliahan di FTP yang
lama, membuat waktu yang digunakan mahasiswa untuk berorganisasi semakin sempit.
Namun penolakan yang dilakukan oleh anak UKM dengan tetap melakukan aktivitas
organisasinya di malam hari, ditanggapi buruk oleh pihak fakultas. Dilakukannya
pengusiran, penggembokan, sampai-sampai ada UKM yang dibekukan gegara menolak
jam malam tersebut.
Pihak
fakultas secara sepihak menerapkan peraturan tersebut. Dengan alasan sudah
menyusun aturan terkait penggembokan dan juga pembekuan UKM jika melanggar
peraturan tersebut. Sedangkan mahasiswa tak dapat suara dalam menyusun
peraturan tersebut sebagai pertimbangan. Tentang keberadaan peraturannya pun
sampai saat belum juga jelas. Namun penggembokan kesekretariantan UKM tetap
dilakukan, membuat tingkat kegiatan UKM semakin rendah. Berimbas pada minimnya
ketertarikan mahasiswa untuk ikut UKM.
Terlepas
dari kebijakan terkait organisasi, muncul lagi tentang sistem akademik.
Beberapa minggu ini di fakultas saya, mahasiswa dibingungkan oleh peraturan
yang memberitahukan bahwa mata kuliah yang mendapat nilai akhir “C” disuruh
mengulang meskipun IPKnya lebih dari 3. Padahal sebelum-sebelumnya dosen tidak
pernah bilang untuk mengulang mata kuliah tersebut. Setelah melakukan pertemuan
antara Pembantu Dekan (PD)1 dengan mahasiswa ternyata dari pertemuan tersebut
dihasilkan jawaban dari PD1 bahwa ternyata dosen yang kurang paham dengan
sistem tersebut.
Dari
kejadian tersebut secara pribadi hal yang sangat disayangkan bukan
masalah ketidak pahaman dosen terhadap sistem. Namun terlebih pada ketidak
sepahaman antara PD1 selaku pihak yang mengurusi akademik dengan dosen sebagai
pendidik terkait sistem akademik yang diterapkan.
Jika
hal seperti ini terus terjadi, dan tak ada kritik dan saran dari mahasiswa
terkait saling ketidak pahaman antar pembuat kebijakan maka pihak yang menjadi
pelaku kebijakan yaitu mahasiswa akan terus mengalami kebingungan. Sedangkan
pihak pembuat kebijakan akan terus seperti itu karena tak ada kritik dan saran
sebagai bahan evaluasi dari pelaku kebijakan.
***
Saya
sepakat bahwa dosen juga manusia, begitu pula mahasiswa. Keduanya memang manusia
yang tak pernah lepas dari kesalahan, karena itulah salah satu alasan yang
efektif sebagai perisai ketika melakukan kesalahan. Oleh karena itulah kita
butuh kritik dan saran, sebagai dasar pemikiran untuk memperbaiki kesalahan
masing-masing. Semoga opini saya ini dapat melunakkan pihak-pihak yang memiliki
sikap anti kritik. Perlu diingat lagi, banyak dalam sejarah menyatakan bahwa
perubahan yang terjadi dimulai dari pemikiran para pemuda (contohnya, lahirnya
sumpah pemuda), khusunya mahasiswa.[]
Pernah diterbitkan di: http://persmanifest.com/?p=798
