![]() |
| Kebersamaan (Foto: Sentil) |
“Pergi karena tugas, pulang karena beras”
– Agos Kotak –
Begitulah candaan sang yotuber
yang akrab dipanggil Agos Kotak, menyampaikan pesan semangat untuk para pekeja
keras. Banyak quote-quote unik dan
nyentrik ala Agos Kotak yang terdengar konyol namun masuk akal. Sederhana namun
sering luput dalam pemikiran keseharian kita. Dan aku mulai sadar setelah
menonton youtube di BATS Channel yang
menjadikan tokoh Agos Kotak sebagai pemeran utama. Maklum akhir-akhir ini aku mengisi
kegiatan ngabuburit-ku dengan
menonton youtube.
Di sela-sela itu, aku juga
merangkap menjadi konsultan “Pejuang Map Coklat” salah satu kawan saya yang
baru saja diwisuda. Pemuda asal Kota Jember yang telah ku kenal sejak dia masih
menjadi Mahasiswa Baru (Maba) di Kampus tempat kami merawat kegelisahan. Dan
benar sekali dia sekarang sedang gelisah mencari kerja, maklum sang kekasih
ingin sekali segera dilamar.
Perkenalan diantara kami pun juga
tidak sengaja. Kami dipertemukan dalam forum bebas yaitu warung kopi. Saat
itu aku sedang ngopi sambil ngobrol
santai bersama Fais, salah satu kawan dari kampus lain. Tibalah pemuda itu
menghampiri kami bersama Alif, kawan di kampus yang lebih awal aku kenal.
“Jok, gabung ya”
“Monggo Bos, silahkan.”
“Kenalkan Jok, mahasiswa baru FTP
2014,” basa-basi Alif mulai
memperkenalkan kami.
“Herman mas, tapi biasanya
dipanggil Sentil”
“Joko, Til”
Tidak ada yang istimewa dalam
perkenalan antara aku dengan Sentil. Tapi dari situ pertemuan kami semakin
sering. Di kampus, warung kopi, atau bahkan di kosan yang kebetulan kawan
sekelas Sentil ada yang satu kos dengan ku, Risky Ade namanya.
Semakin seringnya pertemuan,
obrolan kami juga semakin berkembang. Yang awalnya agak tidak nyambung, karena
Sentil lebih dominan membIcarakan hal-hal seputar olahraga, sedangkan aku minim
sekali pengetahuan terkait olahraga. Sentil memang seorang atlet Futsal saat
dia masih di SMA. Hingga obrolan berkembang ke arah organisasi mahasiswa,
karena aku aktif dalam organisasi Pers Mahasiswa (Persma) sehingga topik ku
bicarakan juga tentang dunia pers. Meskipun tak jarang kami juga membicarakan
masalah perkuliahan yang membosankan.
Tak ku sangka dari obrolan itu
Sentil tertarik masuk dalam dunia Persma, padahal jika dilihat dari potensi dia
lebih punya bekal jika menggeluti dunia olahraga, khususnya Futsal. Tapi itulah
pilihan, akhirnya dia benar-benar melabuhkan hatinya masuk dalam organisasi
Pers Mahasiswa.
Dalam wadah yang bernama Lembaga
Pers Mahasiswa Manifest, kami mulai berproses bersama. Sering berdiskusi,
membicarakan nasib umat sembari mengasah kemampuan untuk menulis. Melihat
perkembangan seorang Sentil yang dari awal tidak dapat menulis selain menulis
Laporan Praktikum Kuliah, tapi pada akhirnya dia mampu membuat karya
jurnalistik. Jika ingin membaca karyanya dapat mengunjungi media daring
persmanifest.com atau blog pribadinya bimomahameru.blogspot.com. Pemikiran dia
yang kritis atau cara pandang dia yang humor dapat dibaca dia dua media daring
tersebut. Baginya tidak ada yang tidak mungkin, dia yang seorang atlet futsal
jika bersungguh-sungguh dalam berproses dan teguh tujuannya, maka menjadi
penulispun dia pasti bisa.
Ada Anak yang Taat Pada Surga
Di balik perkembangan skillnya
dalam dunia jurnalistik, ternyata Sentil juga seorang anak yang berbakti kepada
orang tua. Selesai kuliah dan berkegiatan di organisasi, dia langsung pulang
untuk membantu berjualan Bakso dan Mie Ayam disalah satu pasar terbesar di
Jember, Pasar Tanjung. Lebih tepatnya. Jika dari arah Golden Market menuju ke
Pasar Tanjung, ada pertigaan sebelum lampu merah belok ke kanan. Gang pasar
yang biasanya digunakan pedagang sayur dan bumbu-bumbu dapur untuk melapak. Tak
jauh memasuki gang, nanti ada lahan parkir di kiri jalan, di dekat situlah
biasanya Sentil berjualan.
Di suatu malam yang sunyi, aku
sedang ngopi ditemani dengan sebuah buku yang baru ku beli tadi sore di Bazar
Perpusda. Baru selesai membaca beberapa lembar halaman, tiba-tiba suara Hp
berbunyi. Tanda pesan masuk. Ternyata pesan itu dari Sentil.
“Dimana mas?”
“Ini Til, lagi ngopi sambil baca
buku”
“Sama siapa mas?”
“Sendiri ni, kesepian… hahahah…”
“Sini aja mas, ke warung nanti
aku buatkan semangkuk Mie Ayam ala Pak Bakat”
“Lah, nanti malah menggangu mu
kerja”
“Enggak mas, sudah malam juga.
Warung sudah sepi”
“Okelah kalau begitu aku kesana
ya”
“Di tunggu bosque”
Aku selesaikan meninum kopi yang
masih setengah gelas. Secangkir kopi sudah tandas, aku pulang dulu ke kos untuk
cuci muka sambil mengambil jaket. Jember di malam hari memang cukup dingin.
Selasai itu, aku langsung berangkat ke Pasar Tanjung. Ini kali pertama aku main
ke warung Sentil. Berbekal arahanya di pesan whatsapp, aku mencari tempat
sentil berjualan.
Tiba di Pasar Tanjung, aku parkir
sepeda sembari mencari Sentil, ya minimal orang yang punya ciri-ciri seperti
Sentil. Tapi sangat sulit menemukan orang yang mirip Sentil. Karena karakter
mukanya memang unik. Gimana ga dibilang unik, muka kayak bayi dengan kumis
tipis yang panjang. Ditambah lagi rambutnya juga gondrong. Jika dipakaikan
kerudung dan kumisnya dipotong pasti mirip sekali dengan cewek. Dan Om-om
diluar sana pasti akan tergila-gila pada Sentil.
“Til, dimana aku sudah di
parkiran ini?”
“Sampean lurus mas, terus belok
kiri sedikit. Aku di depan warung”
“Oke siap”
Terlihat dari kejauhan terlihat
Sentil sedang duduk di depan warungnya, sambil klepas-klepus menikmati sebatang
nikotin. Benar saja, dengan gaya khasnya memakai sandal jepit, celana pendek
olahraga, kaos oblong, dan rambutnya yang dikuncir kebelakang Sentil
beristirahat selepas selesai memasakkan pelanggan.
![]() |
| Coretan Sentil Pada Potongan Kertas Minyak (Foto: Joko) |
“Sendiri Til”
“Iya mas, Bapak sudah pulang dari
magrib tadi”
Sentil memang mendapat jam malam
untuk berjaga diwarung, selesai sang bapak berjaga hingga magrib setelah itu
dilanjudkan Sentil sampai pukul 10 tau 11 malam. Lalu dia juga bertugas untuk
menutup warung .
“Duduk mas”
“Iya santai aja”
“Mau bakso apa mie ayam mas?”
“Mie ayam saja” kebetulan malam
itu aku pengen makan mie ayam.
Hampir setiap hari Sentil
melakukan rutinitas seperti ini, apalagi orang tuanya yang semakin bertambah
umurnya. Dia sadar pada suatu saat dia akan menjadi tulang punggung bagi
keluarganya.
“Pedas gak mas?”
“Yang sedang ae Til”
Dengan cekatan dia merebus air
untuk memasak mie dan mempersiapkan bumbu-bumbunya untuk membuat kuah. Tak
sampai 30 menit mie ayam sudah siap di santap di atas meja.
“Ini mas, silahkan di makan, jika
ada yang kurang bilang aja”
“Sudah Til, pas enak kok”
Disaat aku makan, tiba-tiba
Sentil memberikan sesuatu kepada ku.
“Ini mas, tadi aku buat saat gak
ada pelanggan”
“Apa ini?”
Ternyata setelah aku amati, dia
telah menggambar logo Manifest pada selebar kertas minyak yang di sobek.
Sebagai Pemimpin Umum di organisasi tersebut aku sangat terharu dengan sikap
dan apa yang dilakukan Sentil. Meskipun sedikit seperti drama, menurutku itu
sudah sangat cukup untuk menunjukkan loyalitas dia dalam berorganisasi. Bukan
dengan kertas yang bagus coretan yang rapi dan hasil yang memukau. Cukup dengan
hal yang sederhana dan komitmen untuk terus berproses yang tetap terjaga hingga
akhir, sebuah organisasi akan besar bila di isi oleh anggota-anggota seperti
itu.
“Kamu beneran ingin berproses di
Manifest Til?”
“Iya mas, aku ingin belajar
banyak tentang jurnalistik dan arti perjuangan”
“Tapi aku gak bisa janji,
memberimu kondisi organisasi yang nyaman lho”
“Iya mas gak apa-apa”
“Tapi aku bisa berjanji untuk
belajar bareng membangun organisasi dan terus mengembangkannya. Apa kamu masih
mau berkomitmen?”
“Iya mas, sekali aku masuk dalam
organisasi aku akan berkomitmen terus sampai akhir.
“Oke aku pegang omongan mu”
Sembari menghabiskan semangkuk
mie ayam, aku lega dan sangat tenang saat itu. Setidaknya dibawah ku, masih ada
orang yang loyal berorganisasi dan minimal dua periode kepengurusan dibawahku
Manifest akan tetap hidup.
Sampai masa kepemimpinanku,
Sentil masih mempertahankan kata-katamya. Masih aktif di Manifest dan bahkan
dia terus berkembang secara skill individunya.

