Kiranya hampir
seharian penuh saya duduk di depan leptop, dengan dihadapkan pada tugas akhir
yang tak kunjung selesai. Tibalah seorang teman bernama Bagus, mahasiswa
fakultas keguruan Universitas Jember yang masih semester awal dan kebetulan
kami dipertemukan dalam sebuah organisasi pers mahasiswa. Sejak kemarin Bagus
menginap di kos saya, karena di kontrakkan dia belum ada temannya. Maklum sekarang
masih masa liburan di wilayah kampus Jember. Kedatangan dia ke Jember karena
memang ada kegiatan rapat redaksi di Lembaga Pers Mahasiswa tempat dia berasal.
Sepulang dari itu dia mengajak saya ke Perpustakaan Daerah (perpusda) untuk
membeli buku. Karena kebetulan disana ada bazar buku.
Saya pun
langsung meng-iyakan ajakan Bagus, karena kebetulan saya juga sudah mulai bosan
seharian melakukan kegiatan yang menjenuhkan seperti ini. Dengan menaiki sepeda
motor kami berdua menuju perpusda Jember, yang kira-kira jaraknya 4 sampai 5
kilometer dari kos saya.
Sesampainya disana,
saya langsung menuju belakang perpusda untuk memparkir sepeda. Dari belakang
saya jalan lagi kedepan gedung karena memang letak bazarnya ada dihalaman
depan. Seperti biasanya, beberapa kali saya datang dibazar buku yang
diselenggarakan oleh perpusda jember cara mereka menyajikan buku dalam bazar sangat
mengecewakan. Terdapat 4 buah meja besar dan panjang, sebagai tempat rak buku. Buku
yang dipajang tidak jauh berbeda penataannya dengan tenpat menjual pakaian
bekas di pasar rombengan. Berantakan, bertumpuk tak berpola, tidak terbagi
berdasarkan jenis bukunya, dan menurut saya terkesan tak ada harganya buku yang
perlakukan seperti itu.
Adalagi tulisan “OBRAL
BUKU MURAH” pada sepanduk yang di pasang pada dinding-dinding yang mengitari
tempat bazar. Padahal sudah tertera harga buku yang ditempel pada meja-meja rak
buku. Mulai dari harga 5 ribu sampai 25 ribu, apakah nominal itu sudah
memberitahukan bahwa buku itu murah bagi yang mampu beli. Sedangkan kata “obral”
dan “murah” bukannya justru menambah kesan bahwa buku itu murahan. Saya juga
bingung bagaimana sebenarnya menghargai sebuah buku dalam hal fisik.
Padahal secara
sejarah buku memiliki andil yang besar dalam proses pembentukan Negara Indonesia
ini. Tokoh Tan Malaka sebagai penulis buku yang berjudul “Naar de Republiek Indonesia (1925)”
menjadi inspirator Soekarno, Hatta, Sjahrir, dkk untuk memperjuangkan
kemerdekaan Indonesia dan membentuk Negara ini dengan konsep republik seperti
yang ditulis Tan Malaka dalam bukunya.
Tan Malaka juga
menuliskan betapa besar dan pentinnya buku dalam pengetahuan, hal tersebut
ditulinya pada bukunya yang berjudul “Madilog”.
Disampaikan bahwa,” Seorang tukang tak akan bisa membikin gedung, kalau alatnya
seperti semen, batu tembok dan lain-lain tidak ada. Seorang pengarang atau ahli
pidato, perlu akan catatan dari buku musuh, kawan ataupun guru. Catatan yang
sempurna dan jitu bisa menaklukan musuh secepat kilat dan bisa merebut
permufakatan dan kepercayaan yang bersimpati sepenuh-penuhnya. Baik dalam
polemik, perang-pena, baik dalam propaganda, maka catatan itu adalah barang
yang tiada bisa ketinggalan, seperti semen dan batu tembok buat membikin
gedung. Selainnya dari pada buat dipakai sebagai barang bahan ini, buku-buku
yang berarti tentulah besar faedahnya buat pengetahuan dalam arti umumnya.”
Betapa besar
fungsi buku, dan saya rasa setiap buku memiliki sakralitas dan wajib untuk
dihargai. Dengan peran dan fungsi yang seperti itu apakah layak sebuah buku
disajikan dalm kondisi berantakan dengan embel-embel diobral murah. Apalagi
yang mengadakan bazar itu adalah Perpustakaan Daerah.
Sempat saya
teringat kepada seorang senior di lingkarang organisasi pers mahasiswa, saya
sebut senior karena memang dia benar-benar lebih tua dari saya. Dia juga yang
mendorong saya untuk sering membaca buku karena pada awalnya saya memang tidak
suka membaca buku. Bukan tanpa alasan tapi karena saya tidak mau terdoktrin
oleh isi buku yang saya baca. Itu pemikiran ku dulu. Kembali lagi kesosok
senior saya tadi. Namanya Yudha, pada waktu itu dia adalah seorang Pemimpin
Umum (PU) di organisasi pers mahasiswayang saya ikuti. Dia mengajarkan kepada
saya utnuk menghargai sebuah buku, apapun itu bukunya. Contoh kecil yang dia
sampaikan ke saya, dia selalu member sampul pada buku yang dia miliki. Di sampuli
dengan rapi, setelah itu membuat garis buka lipat buku agar saat buku itu
dibuka dan dibaca, lem yang ada di kertas buku tidak rusak. Sehingga buku
menjadi lebih awet fisiknya. Dan dia juga tidak suka pada seseorang yang
menggunakan buku sebagai bantal tidur, pasti dia langsung marah.
Saya bertanya
kepada beberapa teman, “ seperti apa sih cara menghargai sebuah buku?”. Dan kebanyakan
teman saya menjawab dengan dibaca itu sudah menghormati sebuah buku. Saya pun
tidak sepakat dengan hal tersebut, karena memang keberadaan buku itu untuk
dibaca dan itu sudah terjawab oleh alasan kenapa buku itu dibuat. Ya untuk
dibaca. Tapi jawaban yang saya ingin kan itu bagaimaca cara menghargai sebuah
buku, sederhananya kalian menghargai sepeda motor kalian dengan cara dicuci, diservice,
dikasih setiker, dan bukan hanya dinaiki. Seperti buku yang bukan hanya dibaca.[]
