Hari ini kepala
saya cukup pusing, bukan karena memikirakan persoalan organisasi, kuliah,
rumah, ataupun hati. Namun otak dan tubuh ini mungkin terlalu lama
diistirahatkan dengan tanpa memikirkan persoalan- persoalan yang perlu saya
selesaikan. Hampir seharian penuh saya merebahkan diri di atas kasur yang
berwarna hijau pudar dengan aroma-aroma khas hasil mimpi-mimpiku yang kemarin. Kamar
kos dengan ukuran 3,5 x 4 meter menjadi tempat yang paling nyaman untuk
merangkai harapan hidup kedepan atau hanya sebatas impian yang memang hanya
mimpi. Hari ini saya memang tidak produktif.
Mendengar azan
magrib, saya segera menegakkan tubuh sambil menoleh ke jendela kamar yang dekat
dengan tempat saya tidur, ternyata diluat sudah gelap. Ku putar punggung ini ke
kiri dan ke kanan untuk melemaskan tulang yang seharian ini sangat minim
geraknya. Lalu kuambil tas merah kecil beserta handuk yang digantungan pojok
kamar, berisi alat mandi dan lekas saya pergi ke kamar mandi. Pertama kalinya
saya mendi untuk hari ini.
Selesai saya
menyegarkan badan, memang saatnya saya menjernihkan fikiran agar lekas waras
dan lancar dalam berfikir. Secangkir kopi saya rasa cukuplah. Saya ambil
dompet, handphone, dan sebuah buku yang saya beli di bazaar buku perpustakaan
daerah kemarin, lalu ku masukkan kedalam tas kecil. Dengan sedikit bercermin
sambil mengkuncir rambut saya yang mulai panjang, cukuplah saya menata
kepercayaan diri untuk keluar.
Sesampainya di
warung kopi langganan saya, kondisinya masih sepi karena memang waktunya belum
tarlalu masuk waktu yang nyaman untuk nyaman ngopi. Orang bilang masih terlalu
sore untuk ngopi. Saya pesan secangkir kopi hitam dan saya duduk di kursi
paling pojok. Sambil meresapi angin malam yang mulai dingin dan menunjukkan
rasa kesepian.
Secangkir kopi
hitam datang di atas meja depan mata, ku sruput panas-panas untuk mendapatkan
sensasi kenikmatan kopi pertama untuk hari ini. Mulailah saya merasakan
kesepian ketika tidak ada teman ngobrol, atau bahkan sebungkus nikotin pun
tidak. Karena memang saya sekarang sudah tidak ada alasan lagi kenapa saya
harus merokok. Sepi itu datang dan nyata.
Dan mungkin saya
tidak salah kenapa saya membawa buku ditempat ngopi hari ini. Kesepian saya
terbayar tuntas ketika sebungkus kerupuk nasi ditangan sambil sesekali ku
menyruput kopi dengan membaca buku tentang cerita investigasi yang ditulis oleh
seorang detektif swasta, Erward D. Hoch.
Erward merupakan
seorang detektif swasta disebuah kota kecil, memiliki sebuah kantor kerja yang
hampir bangkrut dan habis uang sewa gedungnya. Kota kecil yang cukup aman dan
minim kasus kriminal membuat peran detektif sangat kurang digunakan. Dan hampir
setengah tahun Erward tidak mendapatkan kasus sehingga dia pemasukan dari
pekerjaannya itu. Datanglah suatu hari seorang mahasiswa lulusan fakultas
hukum, yang ingin bekerja sebagai detektif.
Mike trapper,
sarjana muda yang ingin meperdalam dunia detektif membeli seperempat saham perusahaan
Erward, dengan seperti itu kantor tersebut dapat berjalan lagi. Dengan begitu Erward
dan Mike menjadi mitra kerja dalam menjalankan profesinya sebagai seorang
detektif swasta.
Selang beberapa
minggu setelah mereka bermitra, akhirnya kantor detektif tersebut diatangi
klien. Craig Winton, seorang kepala disebuah kantor asuransi melaporkan bahwa
dalam satu tahun ini hidupnya terasa di hantui oleh orang yang mirip dengannya.
Dan beberapa kali memunculkan sosoknya kepada orang-orang terdekat Craig. Atas hal
tersebut dia minta ke duo detektif Erward dan Mike untuk menyelidiki kasus
tersebut.
Dan ternyata
permintaan Craig untuk menyelidiki pelaporannya itu hanyalah sebuah tipuan
Craig untuk mencari alibi saat dia menggelapkan uang asuransi dikantornya. Disaat
seorang detektif menyelidiki dan menemukan seseorang telah menyamar sebagai
Craig, otomatis Craig telah memiliki ruang yang cukup luas utnuk melakukan
penggelapan dana asuransi. Jika hal tersebut diketahui oleh kantor dia dapat
membela bahwa ada orang yang sudah menyamar menjadi dia.
Dari situ saya
berfikir bahwa banyak profesi yang dapat digunakan sebagai pelindung lepas dari
hukum, seperti profesi detektif itu yang dimanfaatkan sebagai alibi yang cukup
kuat. Secangkir kupi yang hampir tandas dan satu judul cerita dalam buku yang
saya bawa sudah selesai ku baca. Membaca buku tersebut mengingatkan kupada
sebuah profesi dan juga lembaganya yang mudah dan berpotensi untuk dimanfaatkan
dalam kepentingan pribadi. Jurnalis atau perusahaan media, memiliki peran yang
penting dalam membuat dan melaporkan sebuah informasi ke masyarakat atau publik.
Ingat “publik” sebuah wilayah yang sangat luas.
Penyampai informasi
untuk mencerdaskan atau justru melakukan pembodohan terhadap pembaca berada di
tangan jurnalis. Mengingat semua pekerjaan dalam perusahaan media di tentukan
oleh pemiliki saham. Dan apabila pemiliki saham memiliki kepentingan dan
menggunakan media sebaga alat untuk mencapai kepentingan tersebut, maka media
akan menjadi alat pembunuh yang paling berbahaya. Karena yang mereka bunuh
bukanlah nyawa tapi kecerdasan publik. Akan terciptalah pembohongan-pembohongan
yang berujung pada pembodohan.
Dan mungkin itu
sekarang terjadi, perusahaan media kebanyakan dikuasai orang-orang yang sedang
main dalam perebutan kursi politik Negara, perusahaan-perusahaan media dari
yang kecil sampai yang besar di beli atau disewa. Sungguh ironi permediaan
sekarang. Maka jangan kaget jika dalam media cetak, tv, radio, atau onlin akan
terjadi pro-kontra atau pertarungan media dalam melaporkan sebuah isu. Nasib media
sekarang sama dengan perusahaan detektif tadi, dimanfaatkan oleh orang
berkempentingan. Yang membedakan hanya detektif tersebut tidak sadar bahwa
mereka dimanfaatkan, namun kalau perusahaan media, saya rasa mereka sadar dan
dalam kondisi ; waras bahwa mereka dimanfaatkan.
Dan pikiran saya
saat ini mulai waras.[]
