"Ini pelanggaran hukum, Ini cacat prosedur, dan Peristiwa ini merupakan kekerasan terhadap warga sipil,” batinku saat pertama kali mendapat informasi tersebut.

***

Saat itu Malam Jum’at (07/09/2023), Aku membaca informasi terkait peristiwa di Pulau Rempang – Batam, Kepulauan Riau. Sepulang dari acara Yasinan agenda ngaji rutin yang dilaksanakan setiap satu minggu sekali, aku taruh songkok di almari rumah bagian belakang. Masih memakai sarung, ku sandarkan badan di sofa sambil membuka media sosial melalui handphone.

Awal membuka Instagram, yang muncul di beranda hanyalah informasi-informasi biasa. Seperti informasi tempat traveling, postingan foto teman, beberapa informasi tentang otomotif, dll. Hingga pada postingan akun @walhi.nasional, terdapat video yang menunjukan gerombolan TNI, Satpol PP, dan banyak sekali Polisi yang mengenakan pakaian lengkap mulai dari Helm, Rompi, Pentungan, hingga Tameng melakukan pengusiran dengan menyemprokatn air, mendorong, memukul, serta menggunakan Gas Air Mata.

Awalnya aku kurang paham dengan peristiwa apa yang terjadi di video tersebut, lalu ku scroll ke bawah untuk membaca caption dari postingan. Ternyata, Walikota Batam sekaligus Kepala Badan Pengusahaan (BP) Batam Muhammad Rudi, menurunkan 1000 personil polisi dan aparat gabungan untuk melakukan Pemaksaan Pematokan dan Pengukuran Tanah di Pulau Rempang. Di tempat tersebut, pemerintah akan membangun investasi skala besar yang disebut “Rempang Eco City” dan mengusir warga dari tempat tinggalnya. Padahal, sejak awal masyarakat telah menolak adanya proyek tersebut.

Proyek Rempang Eco City

Badan Pengusahaan dan Pemerintah Kota Batam berencana mengembangkan Rempang Eco City pada tahun 2004. Proyek dengan investasi skala besar tersebut menggandeng PT. Makmur Elok Graha sebagai pelaksananya. Ditargetkan, proyek tersebut akan selesai pada tahun 2080 dengan memakan biaya sebesar Rp 381 triliun.

Rempang Eco City, merupakan bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN) yang nantinya kawasan Pulau Rempang akan dibangun untuk kebutuhan Industri, Pariwisata, dan Lainnya. Namun  proyek yang akan dibangun di atas lahan seluas 17 ribu hektar tersebut mendapat penolakan dari masyarakat.

Penolakan tersebut bukan tanpa alasan, masyarakat Pulau Rempang dengan total kurang lebih 7.500 jiwa dan terdiri dari 16 kampung adat akan digusur dari tempat tinggalnya. Proyek tersebut akan merampas hak atas tanah masyarakat dengan dalih relokasi.

Seperti pola-pola yang sebelumnya, pemerintah selalu membuat regulasi ataupun Surat Keputusan (SK) untuk melancarkan programnya. Sehingga program yang akan dijalankan akan berstatus legal dan tidak melanggar hukum. Tanpa mempertimbangkan nilai-nilai sosial atau tanggapan masyarakat lokal, pemerintah saling bantu memaksa jalannya program.

Kali ini Pemerintah Batam didukung oleh Kementrian Agraria dan Tata Ruang, dengan dikeluarkannya SK Hak Pengelolaan (HPL) Kawasan Rempang kepada Badan Pengusahaan Batam. Menggunakan SK tersebut, BP Batam dengan leluasa menerapkan konsep domein verkalring (Negaraisasi Tanah). Konsep tersebut mengartikan bahwa tanah dianggap sebagai kepemilikan negara. Yang sewaktu-waktu pemerintah atau otoritasnya membutuhkan tanah tersebut maka dengan mudah dapat mengakuisisi tanah masyarakat.

Kekerasan Terhadap Warga Sipil

Dikeluarkannya regulasi ataupun SK yang dirasa cacat prosedur, karena tidak mempertimbangkan suara rakyat maka selama dua bulan terakhir ini masyarakat Pulau Rempang terus melakukan demonstrasi besar-besaran. Mungkin sampai artikel ini ditulis, kondisi Pulau Rempang masih dalam kondisi yang mencekam.

Proyek ambisius pemerintah yang menggunakan aparatur keamanan TNI dan Polri sebagai alat untuk mengusir atau menggusur masyarakat dari tempat tinggalnya juga sangat anarkis. Pada akun instagram @walhi.nasional juga memposting seorang warga paruh baya dalam kondisi kepala penuh dengan darah. Dari keterangan korban luka tersebut didapat dari tindak kekerasan yang dilakukan polisi terhadapnya saat melakukan demonstrasi.

Tidak hanya itu, polisi juga melakukan penembakan Water Canon dan Gas Air Mata kepada kerumunan demonstran. Akibatnya dua sekolahan yang berada di tempat kejadian terkena imbasnya, yaitu SD Negeri 24 Galang dan SMP Negeri 22 Galang.

Pada saat kejadian, warga dan para guru sudah meminta kepada pihak polisi untuk tidak melakukan penembakan menggunakan Gas Air Mata. Karena para murid masih proses evakuasi. Namun aparat tidak mengindahkan apa yang diinfokan oleh warga dan guru, bahkan tetap menembakkan Water Canon Dan Gas Air Mata. Dari kondisi tersebut membuat belasan siswa pingsan dan belasan lainnya luka-luka karena mencoba lari melalui semak-semak di belakang sekolah.

Dari kondisi ini polisi tidak pernah belajar, mereka mengabaikan keselamatan warga dan rasa kemanusiannya. Mereka tidak melihat kejadian di Stadiun Kanjuruhan Malang, ratusan supporter bola harus kehilangan nyawa karena tindakan cerobah polisi. Dan kali ini diulangi, lebih hinanya lagi ini dilakukan dilingkungan sekolah atau tempat pendidikan. Yang muridnya masih dalam kategori anak-anak.

Tindakan pemerintah yang pro-pemodal, tindakan aparat yang arogan, dan regulasi-regulasi yang timpang menimbulkan konflik di kehidupan masyarakat. Kondisi ini membuat kaum rentan, yang di maksud kali ini adalah masyarakat mendapatkan banyak kerugian meliputi ekonomi, hak hidup layak, hak atas tanah tempat tinggal, hingga hak atas hidup yang aman dan tentram.

Apa yang dilakukan oleh masyarakat Pulau Rempang merupakan upaya dalam mempertahankan hak dasar untuk hidup, mempertahannkan apa yang telah diwarisi nenek moyang mereka. Karena mereka sudah bermukim dan bertempat tinggal ditanah Rempang sebelum negara ini merdeka. Lalu jika mereka di usir dari tanah kelahirannya, mana hati nurani dan dasar pemikiran seperti apa jika kemanusiaan dapat digadaikan.

Sebelum Setelah