Singkat
cerita dari saya dulu yang pernah menjalani kehidupan akademis di sekolah yang
menerapkan sistem full day school. Tepatnya saat saya duduk dibangku sekolah menengah
pertama (SMP), sekolahku menerapkan sistem tersebut yang mewajibkan para
muridnya mengikuti pelajaran seharian penuh disekolah. Yang pada umunya sekolah
pulang pukul 12 siang, sistem full day
mengharuskan muridnya pulang pukul 4 sore. Dengan harapan para murid akan lebih
faham dalam menerima materi. Durasi proses belajar mengajar yang lebih lama dan
otomatis materi yang disampaikan lebih banyak dan mendalam; harapanya. Itu 10
tahun yang lalu.
Sekiranya
sekarang sekolah SMP ku sudah tidak menerapkan sistem tersebut. Hal yang perlu
dipahami dengan durasi belajar yang lama atau lewat pada umumnya menyebabkan
proses belajar mengajar tidaklah evisien. Kelas akan tercipta kondisi yang
membosankan, materi yang disampaikan pengajar dapat dibilang “ masuk kuping
kanan keluar kuping kiri”, dan hal yang alamiah kondisi ngantuk serta capek
akan dialami guru dan murid.
***
Gebrakan
baru telah dilakukan oleh Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy. Mentri yang tergolong baru ini,
setelah menggantikan posisi Anies Baswedan di kursi Kemendikbud telah menggagas
untuk diterapkannya sistem full
day school di sekolah tingkatan Sekolah Dasar dan Sekolah
Tingkat Pertama (SMP), baik
negeri maupun swasta. Tujuannya membuat anak memiliki kegiatan di sekolah
dibandingkan berada sendirian di rumah ketika orang tua mereka masih bekerja.
"Dengan sistem full day
school ini secara perlahan anak didik akan terbangun karakternya dan tidak
menjadi 'liar' di luar sekolah ketika orang tua mereka masih belum pulang dari
kerja," kata Mendikbud usai menjadi pembicara dalam pengajian untuk
keluarga besar Muhammadiyah di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Minggu
(7/8) kemarin.
Bapak mentri mungkin mengira bahwa
seorang murid seusai pulang sekolah hanyalah bermain dan hal itu memicu terbentuknya
karakter liar pada seorang anak. Karena memang kurang adanya pengawasan dari
orang tuanya yang belum pulang dari kerja. Tapi apakah bapak mentri tidak
berfikir untuk beranjak dari kursi kerjannya dan blusukan ke desa-desa atau minimal paling dekat adalah pemukiman
kecil warga di pinggiran kota. Dan apa yang fikirkan atau dianggap oleh bapak
mentri itu semuanya benar. Anak kecil sepulang sekolah lalu bermain dan
memiliki karakter yang liar.
Mari pak kita duduk dan ngopi
bareng, kita membicarakan masa lalu kita terkecuali mantan ya pak. Karena
mantan saya sedang menempuh pendidikan di kampus yang sempat bapak pimpin.
Lebih bijaknya kita membicarakan masa sekolah kita dulu yang jauh rentang
waktunya, sebagai perbandingan kondisi murid era sekarang.
Jika
menurut bapak mentri,
sistem full day school banyak memberikan kesempatan kepada pihak
sekolah untuk menanamkan pendidikan karakter kepada peserta didik sesuai dengan
program Nawacita pemerintahan Presiden Joko Widodo-Wakil Presiden Jusuf Kalla,
lalu apakah orang tua tidak mampu untuk memdidik anak memiliki karakter yang
baik. Yang pada intinya orang tua atau keluarga merupakan lingkaran paling
dekat dalam kehidupan seorang anak. Dan itu pengaruhnya sangat besar kepada
karakter anak.
Jika waktu seorang anak durasi waktu
dengan keluarga lebih sedikit daripada dengan lingkungan luar apakah juga tidak
mendorong anak tersebut akan jauh dari orang tua dan acuh terhadap kehidupan
keluarga. Missal si anak rajin belajar namun dimintai bantuan orang tua untuk mencuci
piring saja tidak mau. Apa itu yang di maksut pendidikan berkarakter?
Bapak mentri mari saya ceritakan
kehidupan anak kecil di desa saya. Para anak-anak yang SD atau SMP sepulang
sekolah tidak hanya melakukan kegiatan bermain saja. Namaun banyak hal yang mungkin
bapak mentri tidak terfikirkan atau tidak tahu.
Di desa saya biasanya anak
sepulang sekolah itu makan lalu istirahat sebentar. Setelah itu sekiranya
matahari sudah tidak terlalu terik mereka membantu kerja orang tua untu mencari
rumput binatang peliharaannya. Seperti kelinci, kambing, atau bahkan sapi.
Tidak jarang dan mereka sadar bahwa hasil ternaknya itu digunakan orang tuanya
untuk membiayai sekolah. Karena tingkat ekonomi semua orang juga tidak semuanya
baik, serat biaya pendidikan yang semakin hari semakin mahal. Jadi tidak heran
jika anak kecil tersebut dengan sukarela membantu orang tuanya untuk bekerja.
Apakah bapak mentri tidak tahu
kehidupan anak desa seusai pulang sekolah seperti ini. Coba bapak ingat-ingat
masa kecil bapak dulu. Setidaknya ketika bapak tidak pernah mengalami hal yang
serupa, bapak punyalah teman yang melakukan hal tersebut untuk biaya
sekolahnya. Kalau bapak memang tidak tahu, mari pak saya ajak keliling desa
saya dan melihat kejadian umum itu di daerah saya.
Dan sebagai seorang yang pernah
memimpin sebuah kampus dengan basis Islam yaitu Universitas Muhammadiyah Malang,
seharusnya bapak juga tahu, selain pelajaran umum seorang anak juga perlu
mempelajari pengetahuan tentang agama dan mengaji. Karena memang baisanya anak-anak di sore hari
juga mengikuti pelajaran tentang agama di taman pendidikan qur’an (TPQ). Disitu
mereka belajar akhlak, sopan santun, adap perilaku, baca tulis Al-qur’an dan
juga mengaji. Kalau seumpama mereka seharian penuh mengikuti kegiatan belajar mengajar
di sekolah, lalu kapan mereka belajar agama dan mengaji. Apakah malam hari?
Terus kalau malam hari, kapan waktu para murid mengerjakan pekerjaan rumah (PR).
Coba
bapak fikirkan dulu gagasan bapak tersebut, ini sebuah eksploitasi pendidikan
terhadap anak, bapak. Dan semoga tidak ada anak yang berhenti belajar mengaji
serata menjual seluruh binatang ternaknya gara-gara di sekolah tempat dia
belajar diterapkan sistem full day school
,seperti saya dulu. Serta yang saya semogakan lagi tulisan ini dapat menjadi
pertimbangan dalam kebijakan bapak. Duhh……
siapa saya tulisan seperti ini saja berharap jadi pertimbangan bapak menteri.[]
