![]() |
| Salah Satu Murid di Di Depan Jendela (Foto: Joko) |
Semua orang
memiliki hak yang sama dalam hak mendapatkan sarana dan prasarana pendidikan. Seperti
yang telah dijelaskan dalam Undang-undang No. 39 Pasal 12 tentang Hak Asasi
Manusia, yang isi dari undang-undang tersebut bahwa setiap orang berhak atas perlindungan bagi pengembangan
pribadinya, untuk memperoleh pendidikan, mencerdaskan dirinya, dan meningkatkan
kualitas hidupnya agar menjadi manusia yang beriman, bertaqwa, bertanggung
jawab, berakhlak mulia, bahagia, dan sejahtera sesuai dengan hak asasi manusia.
Keberadaan Negara pun juga menjadi faktor
penting dalam hak atas pelayanan pendidikan dan dalam usaha meningkatkan
kualitas masyarakat. Karena segala hal dalam pelayanan pendidikan semuanya telah
diatur oleh pemerintah, hal tersebut berkaitan dengan pengakuan Negara atas hak
pelayanan pendidikan setiap orang. Diterangkan dalam Undang-Undang No. 11 Tahun
2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak Ekonomi Sosial Budaya pada Pasal 13 ayat
(1) dikatakan bahwa negara mengakui hak setiap orang atas pendidikan.
Keterbatasan
pelayanan sarana dan prasarana pendidikan oleh pemerintah telah menodorong saya
untuk terjun langsung ke salah satu desa yang ada di Kecamatan Silo, Kabupaten
Jember tepatnya. Waktu itu langit sangat cerah, saya berangkat ke Kecamatan
Silo bersama 6 orang kawan saya. Dalam perjalanan tidak nampak memang bahwa ada
tempat yang kondisi fasilitasnya tidak layak. Terlihat memang banyak bangunan
sekolah dengan kondisi baik, catnya masih belum pudar dan tembok-tembok gedung
tidak retak. Sepintas saat saya berhenti di depan beberapa sekolah dan
mengamati kondisi gedung sekolah dari luar.
Memasuki salah
satu dusun di Kecamatan Silo, Dusun Pace lebih tepatnya. Jalan aspal yang
awalnya halus mulai berganti dengan jalan aspal yang berlubang dan semakin
berbatu. Kanan kiri jalan terlihat hamparan tanaman padi, cabe, dan beberapa
jenis ditanam. Sampailah di sebuah jembatan kayu dengan kondisi kayunya yang
sudah lapuk.
“Jok, tempatnya
sudah dekat setelah ini kita mau sampai,” jelas Faiz teman saya yang memberikan
informasi awal tentang tempat tersebut.
Dia tahu kondisi
pendidikan di Dusun Krajan Pace karena dua bulan yang lalu Faiz telah melakukan
pengabdian masyarakat di dusun tersebut.
“Inikah
tempatnya,” saya menunjuk sebuah bangunan depan masjid dengan tempelan benner
yang bertuliskan visi, misi, dan nama sekolah tersebut “MI NURUL HIDAYAH 02”.
Kondisi gedung
dengan tembok yang masih belum dipoles semen, jendela yang tidak ada
penutupnya, serta genting yang sudah coklat menahan hujan dan panasnya
matahari. Kami langsung menemui salah satu guru yang kebetulan baru keluar dari
kelas.
“Permisi bu,
apakah kepala sekolahnya ada dan bisa ditemui?” tanya saya kepada guru
tersebut.
“Darimana yam
as?” tanya balik guru tersebut kepada kami.
“Ini bu, kami
mahasiswa Universitas Jember. Tujuan kami kesini ingin menanyakan kondisi
sekolah ini, apakah boleh bu?” kata saya menyampaikan tujuan kami ke sekolah
tersebut.
“Ow… dari Unej
(kependekan Universitas Jember), boleh boleh silahkan masuk,” jawab guru
tesebut mempersilahkan kami masuk kedalam sebuah rumah.
Rumah tersebut
melainkan kepunyaan dari yang punya yayasan MI NURUL HIDAYAH 02. Terlihat jelas
ketika kami masuk dalam ruang tamu dan duduk di kursi sofa, di depan kami ada
sebuah kamar yang diatas pintunya tertulis “Ruang Tata Usaha (TU)” lalu kamar
sampingnya lagi tertulis “Ruang Perpustakaan”. Lalu tiba-tiba datanglah seorang
anak kecil dengan kondisi badannya basah masuk kedalam Ruang TU, beberapa menit
kemudian anak tersebut keluar dengan pakaian yang berbeda. Ternyata ruang
tersebut adalah kamar dari anak yang punya yayasan.
“Lho ini rumah
juga dijadikan kator untuk sekolah to, pak?” tanya saya kepada guru laki-laki
yang baru masuk dan duduk menemani kami ngobrol tentang sekolah tersebut.
“Iya mas,
soalnya ruang kelasnya kurang jadi untuk beberapa ruang memakai rumah dari
kepala yayasan,” jawab Imam salah satu guru sekolah tersebut.
Kurangnya ruang
kelas juga menjadi kendala dalam proses belajar mengajar. Hanya terdapat 4
ruang kelas yang ada, dan itu kurang. Untuk yang mendapatkan ruang hanya kelas
4, 5, dan 6. Sedangkan ruang sisanya digunakan sebagai Ruang Guru. Untuk kelas
1, 2, dan 3 masih menggunakan teras rumah yang punya yayasan sebagai kelasnya.
“Pendirian sekolah
ini, ada inisiatif dari wali murid,” kata imam menjelaskan awal mula kenapa
sekolah ini didirikan.
Kondisi wilayah
Dusun Krajan Pace yang terpencil ini menjadi alasan kenapa sekolah ini
didirikan. Melihat jarak sekolah yang ada waktu itu dengan desa sangat jauh,
mendorong para orang tua untuk merapatkan dan membangun sekolah secara mandiri.
“Sekolah disini
awalnya lumayan jauh mas untuk ukuran anak SD, sekitar 6 sampai 8 kilometer
dari dusun sini,” jelas Imam lebih lanjut tentang awal pendirian sekolah.
Jarak yang cukup jauh, kondisi jalan yang
rusak, dan kesibukan orang tua yang mayoritas bekerja sebagai buruh tani,
membuat dulu banyak anak yang pendidikannya tidak terurusi. Anak-anak banyak
yang putus sekolah dan memilih membantu orang tuannya bekerja di sawah. Dengan
adanya sekolah di Dusun Krajan Pace tersebut, dapat memberikan semangat kepada
anak-anak untuk menempuh pendidikan. Sekaligus juga mendorong para orang tua
untuk peduli terhadapa pendidikan anaknya.
“Untuk mendaftar
di sekolah ini tidak sulit mas, cukup mengisi formulir dan membayar biaya
pendaftaran sebagai iuran membeli seragam,” kata Imam menjelaskan tatacara
masuk sekolah tersebut. Prosedur pendaftaran sekolah memang tidak sulit, hanya
sekedar mengisi formulir dan membayar Iuran seragam. Memang dalam pendidikannya
sekolah tidak menarik biaya kepada orang tua murid karena memang sistemnya
geratis. Tenaga pengajarnya pun adalah para masyarakat atau pemuda-pemuda desa
yang memang memiliki riwayat pendidikan yang cukup.
“Saya baru lulusan
SMA mas, langsung diminta bantu ngajar di sekolah ini,” jelas Imam.
Tenaga pengajar
yang masih kurang, fasilitas yang dapat dibilang belum layak membuat orang tua
murid harus terus bergotong royong agar tersedianya sekolah di desa mereka.
Peran orang tua murid sangat besar di desa tersebut dalam membangun sarana
pendidikan secara mandiri di desa. Alhasil sudah ada beberapa orang anak yang
sudah menempuh pendidikan sampai lulus SMA. Sehingga dia bisa kembali kedesa
untuk membantu disekolah tempat dia menempuh pendidikan dasar dan sekarang
sebagai pengajar di sekolah tersebut.[]
*Telah di terbitkan juga di : http://persmanifest.com/?p=947
